Senin, 17 April 2017

SEJARAH PENDIRI SAMARENDAH



SEJARAH PENDIRI SAMA RENDAH(SAMARINDA)
Kota Samarinda merupakan ibu kota provinsi Kalimantan Timur, Indonesia serta salah satu kota terbesar di Kalimantan. Seluruh wilayah kota ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Kota Samarinda dapat dicapai dengan perjalanan darat, laut dan udara. Dengan Sungai Mahakam yang membelah di tengah Kota Samarinda, yang menjadi "gerbang" menuju pedalaman Kalimantan Timur. Kota ini memiliki luas wilayah 718 kilometer persegi dan berpenduduk 805.688 jiwa pada tahun 2013 (Badan Pusat Statistik Kota Samarinda), menjadikan kota ini berpenduduk terbesar di seluruh Kalimantan.
Jika kita berbicara tentang Legenda, Legenda adalah cerita khayalan yang dihubungkan dengan asal muasal terjadinya suatu tempat atau benda. Misalnya : terjadinya gunung tengger, asal muasal selat bali, sangkurian, dsb. (BAMBANG MARHIJANTO,2007:146)
ORANG-ORANG BUGIS MENDIRIKAN KOTA SAMARINDA
            Ada orang-orang bugis yang merantau dari Wajo, Sulawesi Selatan ke Samarinda yang pada saat itu masih bernama Sama Rendah. Sejak permulaan tahun 1600 orang-orang bugis telah ada yang bertempat tinggal disekitar Jaitan Layar di Kutai, demikian juga pada masa-masa selanjutnya. Arus migrasi itu kian lama terus berkembang. Terutama ketika rombongan di bawah pimpinan La Mohang Daeng Mangkona hijrah ke kerajaan Kutai, dimana sebelumnya mereka mendarat di Muara Pasir untuk menambah bekal perjalanannya. Mereka datang dengan 18 buah perahu kecil dengan jumlah sekitar 200 orang. Sebenarnya diantara rombongan itu terdapat 8 orang bangsawan Wajo (La Pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke’, La Siraje’ Daeng Manambang, La Manja Daeng Lebbi’, Puanna Tereng, La Sawedi Daeng Sagala dan Manropi’ Daeng Punggawa). Kedatangan rombongan ini dicatat di dalam buku Eisenberger, halaman 9, tahun 1668.
            Rombongan tersebut menghadap raja Kutai ( Pangeran Sinom Panji Mendapa 1635-1675), yang waktu itu sudah berdiam di Pemarangan (Kampung Jembayan sekarang). Dari hasil permupakatan dengan raja Kutai, maka kepada rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar Kampung Melanti, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Selain itu sesuai dengan perjanjian, bahwa orang Bugis harus membantu segala kepentingan raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.
            Semula rombongan tersebut memilih daerah sekitar Muara Sungai Karang Mumus (daerah Selili sekarang). Tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan didalam pelayaran karena daerah yang berulak dengan banyak kotoran sungai, selain itu latar belakang dengan gunung-gunung (Gunung Selili). Kemudian mereka pindah ke daerah seberangnya, yakni Samarinda seberang sekarang ini. Dilokasi inilah mulai dibangun perumahan, dengan bentuk rakit-rakit, karena didaerah daratan masih berawa yang dalam.
            Demikianlah keadaannya, Samarinda terus berkembang dibawah pimpinan La Mohang Daeng Mangkona (sebagai Puo Ado yang pertama), kemudian oleh raja Kutai diberi jabatan sebagai raja-kecil(Adipati). Dengan segala upaya Pua Ado ini membangun Samarinda, dengan berbagai fasilitas yang memungkinkannya untuk berkembang. Taham demi tahap rumah rakit dipindahkan kedaratan, dibangun jalan lingkungan dan fasilitas pasar, kemudian tahap demi tahap diusahakan mendirikan pelabuhan (dicatat pada 20 April 1708).
            Tidak berapa lama Samarinda sudah terkenal sebagai pusat perdagangan diperairan Mahakam, dan penduduk terus bertambah, baik dari pendatang orang Bugis maupun orang-orang Kutai disekitarnya. Sehingga saat itu sudah ada 3 kampung, yakni Kampung Masjid, Kampung Dagang, dan Kampung Pasar.
            Melihat keadaan Samarinda sudah bertambah baik, maka setalah 5 tahun berdiam disini, La Ma’dukkeleng bermaksud kembali ke Wajo untuk merebut takhta kerajaannya di Sulawesi. Dikabarkan tidak berapa lama di Wajo, La Ma’dukkeleng berhasil mengumpulkan rakyatnya dan dalam peperangan dengan Bone berhasil takhta kerajaan direbut kembali.
            Masa demi masa terus berlalu. Kota Samarinda terus diperintah dibawah Pua Ado (yang setiap pengangkatannya disetujui oleh raja Kutai). Ketika Pua Ado yang pertama meninggal dikubur di daerah Mangkujenang sekitar pada tahun 1746. Diadakan pemilihan Pua Ado baru, yang dipilih adalah sepupu dari La Mohang Daeng Mangkona, yaitu La Bawedi Daeng Sitebba, sebagai Pua Ado kedua.



Kunjungan ke Makam La Mohang Daeng Mangkona


Ini adalah pengalaman saya berkunjung ke Makam dari pendiri kota Samarinda yaitu La Mohang Daeng Mangkona. Penjelasan dari juru kunci makam tersebut sudah ada sekitar 300 tahun yang lalu. Setiap tanggal 21 Januari adalah hari jadi kota Samarinda, biasanya bapak Walikota Samarinda berkunjung untuk haulan ke makam tersebut. Makam ini sudah di jadikan sebagai cagar budaya nasional, bukan lagi cagar budaya daerah. Banyak sejarah dari akam tersebut bahkan apa yang ada di makam tersebut belum berubah dari aslinya. Sedikit cerita tentang La Mohang Daeng Mangkona yang saya ketahui, La Mohang Daeng Mangkona ini datang merantau ke tanah Kalimantan sekitar tahun 1600an. Mereka datang secara rombongan dan diperkirakan ada sekitar 200 orang. Mereka merantau dari tanah bugis Wajo Sulawesi Selatan.
Selain mendirikan dan mengembangkan kota Samarinda, La Mohang Daeng Mangkona diperkirakan juga menyebar ajaran Islam di kota Samarinda ini. karena dilihat dari tulisan yang ada pada nisan makamLa Mohang Daeng Mangkona bertuliskan Arab. Jadi, bisa dipastikan bahwa beliau juga menyebarkan ajaran Islam di Kota Samarinda, karena Kerajaan Kutai pada masa itu juga masi menganut ajaran Hindu. Jadi makam La Mohang Daeng Mangkona dinyatakan sebagai makam muslim karena dari tulisan yang ada pada nisannya bertuliskan huruf Arab.
Pada saat itu La Mohang Daeng Mangkona oleh raja Kutai diberikan wilayah yang sekarang Samarinda Seberang, maksud dari raja Kutai memberikan kuasa daerah Samarinda seberang karena juga untuk melindungi ancaman Samarinda dari musuh, karena itu La Mohang DAeng Mangkona memilih daerah Selili sebagai wilayah yang kekuasaannya dan sekaligus menjaga dari ancaman musuh (penjajah pada saat itu) karena bisa memantau melalui aliran sungai. Pada masa itu kan masih bertransportasikan perahu layar jadi kenapa La Mohang Daeng Mangkona memilih daerah selili agar bisa lebih mudah memantau melalui aliran sungai. Jika berbicara tentang keturunannya, bahwa ibarat perantauan mereka ini terputus sejarah beliau. Banyak yang mengaku bahwa mereka adalah keturunan dari La Mohang DAeng Mangkona, tetapi hanya di iya kan saja, karena memang sampe sekarang belum ada kejelasan tentang keturunan-keturunan beliau yang pastinya, karena ibarat silsilah beliau terputus. Bahkan sampai sekarang makam-makam yang ada di sekitaran makam La Mohang Daeng Mangkona tidak diketahui identitasnya. Pernah ada peneliti dari Sulawesi, meneliti selama 3 hari dan hasilnya memang benar sejarah keturunan La Mohang Daeng Mangkona ini terputus, bahkan sampai sekarang setelah diteliti nama istri dari La Mohang Daeng Mangkona belum diketahui. Ini adalah foto makam La Mohang DAeng Mangkona beserta kerabat-kerabat beliau.

Ini adalah foto makam dari La Mohang Daeng Mangkona.

Ini adalah foto makam dari Istri La Mohang Daeng Mangkona. Namanya sampai sekarang belum diketahui. Dan ini adalah makam kerabat-kerabat dan makam-makam yang ada di sekitar makam La Mohang Daeng Mangkona.



Demikianlah artikel ini saya tulis. Semoga bisa bermanfaat dan bisa menjadi wawasan bagi kita akan pentingnya kita mengetahui sejarah di masa lampau. Terima Kasih. Wassalam.
Daftar Pustaka
Balham,Johansyah. 2009. Riwayat Samarinda & Cerita Legenda Kaltim. Samarinda. Biro Humas Pemprov Kalimantan Timur.
Marhijanto,Bambang. 2007. Buku Pintar Bahasa Indonesia. Surabaya. Gitamedia Press.
Dachlan,Oemar.,dan Syahrani,Dachlan. 2003. Merajut Kembali Kota Samarinda. Samarinda. Pemerintah Kota Samarinda.
Sjahrani,Dachlan. 1987. Beberapa Usaha Untuk Menemukan Hari Jadi Kota Samarinda. H.Dachlan Sjahrani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar