SEJARAH PENDIRI
SAMA RENDAH(SAMARINDA)
Kota
Samarinda merupakan ibu kota
provinsi Kalimantan Timur, Indonesia serta salah satu kota terbesar di
Kalimantan. Seluruh wilayah kota ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai
Kartanegara. Kota Samarinda dapat dicapai dengan perjalanan darat, laut dan
udara. Dengan Sungai Mahakam yang membelah di tengah Kota Samarinda, yang
menjadi "gerbang" menuju pedalaman Kalimantan Timur. Kota ini
memiliki luas wilayah 718 kilometer persegi dan berpenduduk 805.688 jiwa pada
tahun 2013 (Badan Pusat Statistik Kota Samarinda), menjadikan kota ini
berpenduduk terbesar di seluruh Kalimantan.
Jika kita berbicara tentang Legenda, Legenda adalah
cerita khayalan yang dihubungkan dengan asal muasal terjadinya suatu tempat
atau benda. Misalnya : terjadinya gunung tengger, asal muasal selat bali,
sangkurian, dsb. (BAMBANG MARHIJANTO,2007:146)
ORANG-ORANG
BUGIS MENDIRIKAN KOTA SAMARINDA
Ada orang-orang bugis yang merantau
dari Wajo, Sulawesi Selatan ke Samarinda yang pada saat itu masih bernama Sama
Rendah. Sejak permulaan tahun 1600 orang-orang bugis telah ada yang bertempat
tinggal disekitar Jaitan Layar di Kutai, demikian juga pada masa-masa
selanjutnya. Arus migrasi itu kian lama terus berkembang. Terutama ketika
rombongan di bawah pimpinan La Mohang Daeng Mangkona hijrah ke kerajaan Kutai,
dimana sebelumnya mereka mendarat di Muara Pasir untuk menambah bekal
perjalanannya. Mereka datang dengan 18 buah perahu kecil dengan jumlah sekitar
200 orang. Sebenarnya diantara rombongan itu terdapat 8 orang bangsawan Wajo
(La Pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke’, La Siraje’ Daeng Manambang, La Manja
Daeng Lebbi’, Puanna Tereng, La Sawedi Daeng Sagala dan Manropi’ Daeng
Punggawa). Kedatangan rombongan ini dicatat di dalam buku Eisenberger, halaman
9, tahun 1668.
Rombongan tersebut menghadap raja
Kutai ( Pangeran Sinom Panji Mendapa 1635-1675), yang waktu itu sudah berdiam
di Pemarangan (Kampung Jembayan sekarang). Dari hasil permupakatan dengan raja
Kutai, maka kepada rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar Kampung Melanti,
suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan dan
perdagangan. Selain itu sesuai dengan perjanjian, bahwa orang Bugis harus
membantu segala kepentingan raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.
Semula rombongan tersebut memilih
daerah sekitar Muara Sungai Karang Mumus (daerah Selili sekarang). Tetapi
daerah ini menimbulkan kesulitan didalam pelayaran karena daerah yang berulak
dengan banyak kotoran sungai, selain itu latar belakang dengan gunung-gunung
(Gunung Selili). Kemudian mereka pindah ke daerah seberangnya, yakni Samarinda
seberang sekarang ini. Dilokasi inilah mulai dibangun perumahan, dengan bentuk
rakit-rakit, karena didaerah daratan masih berawa yang dalam.
Demikianlah keadaannya, Samarinda
terus berkembang dibawah pimpinan La Mohang Daeng Mangkona (sebagai Puo Ado
yang pertama), kemudian oleh raja Kutai diberi jabatan sebagai
raja-kecil(Adipati). Dengan segala upaya Pua Ado ini membangun Samarinda,
dengan berbagai fasilitas yang memungkinkannya untuk berkembang. Taham demi
tahap rumah rakit dipindahkan kedaratan, dibangun jalan lingkungan dan
fasilitas pasar, kemudian tahap demi tahap diusahakan mendirikan pelabuhan
(dicatat pada 20 April 1708).
Tidak berapa lama Samarinda sudah terkenal
sebagai pusat perdagangan diperairan Mahakam, dan penduduk terus bertambah,
baik dari pendatang orang Bugis maupun orang-orang Kutai disekitarnya. Sehingga
saat itu sudah ada 3 kampung, yakni Kampung Masjid, Kampung Dagang, dan Kampung
Pasar.
Melihat keadaan Samarinda sudah
bertambah baik, maka setalah 5 tahun berdiam disini, La Ma’dukkeleng bermaksud
kembali ke Wajo untuk merebut takhta kerajaannya di Sulawesi. Dikabarkan tidak
berapa lama di Wajo, La Ma’dukkeleng berhasil mengumpulkan rakyatnya dan dalam
peperangan dengan Bone berhasil takhta kerajaan direbut kembali.
Masa demi masa terus berlalu. Kota
Samarinda terus diperintah dibawah Pua Ado (yang setiap pengangkatannya
disetujui oleh raja Kutai). Ketika Pua Ado yang pertama meninggal dikubur di
daerah Mangkujenang sekitar pada tahun 1746. Diadakan pemilihan Pua Ado baru,
yang dipilih adalah sepupu dari La Mohang Daeng Mangkona, yaitu La Bawedi Daeng
Sitebba, sebagai Pua Ado kedua.
Kunjungan ke
Makam La Mohang Daeng Mangkona
Ini adalah pengalaman saya berkunjung ke Makam dari
pendiri kota Samarinda yaitu La Mohang Daeng Mangkona. Penjelasan dari juru
kunci makam tersebut sudah ada sekitar 300 tahun yang lalu. Setiap tanggal 21
Januari adalah hari jadi kota Samarinda, biasanya bapak Walikota Samarinda
berkunjung untuk haulan ke makam tersebut. Makam ini sudah di jadikan sebagai
cagar budaya nasional, bukan lagi cagar budaya daerah. Banyak sejarah dari akam
tersebut bahkan apa yang ada di makam tersebut belum berubah dari aslinya.
Sedikit cerita tentang La Mohang Daeng Mangkona yang saya ketahui, La Mohang
Daeng Mangkona ini datang merantau ke tanah Kalimantan sekitar tahun 1600an.
Mereka datang secara rombongan dan diperkirakan ada sekitar 200 orang. Mereka
merantau dari tanah bugis Wajo Sulawesi Selatan.
Selain mendirikan dan mengembangkan kota Samarinda,
La Mohang Daeng Mangkona diperkirakan juga menyebar ajaran Islam di kota
Samarinda ini. karena dilihat dari tulisan yang ada pada nisan makamLa Mohang
Daeng Mangkona bertuliskan Arab. Jadi, bisa dipastikan bahwa beliau juga
menyebarkan ajaran Islam di Kota Samarinda, karena Kerajaan Kutai pada masa itu
juga masi menganut ajaran Hindu. Jadi makam La Mohang Daeng Mangkona dinyatakan
sebagai makam muslim karena dari tulisan yang ada pada nisannya bertuliskan
huruf Arab.
Pada saat itu La Mohang Daeng Mangkona oleh raja
Kutai diberikan wilayah yang sekarang Samarinda Seberang, maksud dari raja
Kutai memberikan kuasa daerah Samarinda seberang karena juga untuk melindungi
ancaman Samarinda dari musuh, karena itu La Mohang DAeng Mangkona memilih
daerah Selili sebagai wilayah yang kekuasaannya dan sekaligus menjaga dari
ancaman musuh (penjajah pada saat itu) karena bisa memantau melalui aliran
sungai. Pada masa itu kan masih bertransportasikan perahu layar jadi kenapa La
Mohang Daeng Mangkona memilih daerah selili agar bisa lebih mudah memantau
melalui aliran sungai. Jika berbicara tentang keturunannya, bahwa ibarat
perantauan mereka ini terputus sejarah beliau. Banyak yang mengaku bahwa mereka
adalah keturunan dari La Mohang DAeng Mangkona, tetapi hanya di iya kan saja,
karena memang sampe sekarang belum ada kejelasan tentang keturunan-keturunan
beliau yang pastinya, karena ibarat silsilah beliau terputus. Bahkan sampai
sekarang makam-makam yang ada di sekitaran makam La Mohang Daeng Mangkona tidak
diketahui identitasnya. Pernah ada peneliti dari Sulawesi, meneliti selama 3
hari dan hasilnya memang benar sejarah keturunan La Mohang Daeng Mangkona ini
terputus, bahkan sampai sekarang setelah diteliti nama istri dari La Mohang
Daeng Mangkona belum diketahui. Ini adalah foto makam La Mohang DAeng Mangkona
beserta kerabat-kerabat beliau.
Ini adalah foto makam dari La Mohang Daeng Mangkona.
Ini adalah foto makam dari Istri La Mohang Daeng
Mangkona. Namanya sampai sekarang belum diketahui. Dan ini adalah makam
kerabat-kerabat dan makam-makam yang ada di sekitar makam La Mohang Daeng
Mangkona.
Demikianlah artikel ini saya tulis. Semoga bisa
bermanfaat dan bisa menjadi wawasan bagi kita akan pentingnya kita mengetahui
sejarah di masa lampau. Terima Kasih. Wassalam.
Daftar Pustaka
Balham,Johansyah. 2009. Riwayat Samarinda &
Cerita Legenda Kaltim. Samarinda. Biro Humas Pemprov Kalimantan Timur.
Marhijanto,Bambang. 2007. Buku Pintar Bahasa Indonesia.
Surabaya. Gitamedia Press.
Dachlan,Oemar.,dan Syahrani,Dachlan. 2003. Merajut
Kembali Kota Samarinda. Samarinda. Pemerintah Kota Samarinda.
Sjahrani,Dachlan. 1987. Beberapa Usaha Untuk
Menemukan Hari Jadi Kota Samarinda. H.Dachlan Sjahrani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar