PENGADILAN PUISI
Pengadilan Puisi, tepatnya
"Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir", merupakan nama sebuah acara
yang diselenggarakan Yayasan Arena. Acara ini diadakan di Aula Universitas
Parahyangan, Bandung, 8 September 1974 dan diikuti oleh sejumlah pengarang Indonesia.
Dalam acara ini, Slamet Kirnanto—yang bertindak sebagai
"Jaksa"—membacakan "tuntutan"-nya yang berjudul "Saya
Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan
Brengsek!"
Tuntutan Darmanto Jt dan tuntutan
Slamet Kirnanto secara tersirat dan tersurat memang terasa di dalam
ketidakpuasan terhadap kehidupan puisi Indonesia pada saat itu. Ketidakpuasan
itu, antara lain, menyangkut: (1) sistem penilaian terhadap puisi Indonesia,
(2) kritikus sastra Indonesia, (3) media yang memuat karya sastra Indonesia,
dan (4) beberapa penyair Indonesia yang dianggap "mapan".
Itulah sebabnya, mereka yang banyak
disebut-sebut dalam "Pengadilan Puisi" di Bandung (karena dianggap
"bertanggung jawab" terhadap kehidupan puisi Indonesia) sengaja
diundang untuk berbicara dalam "Jawaban Atas Pengadilan Puisi" yang
diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Teater
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, 21 September 1974; sebuah acara
yang dapat dianggap sebagai "kelanjutan" atau "sambungan"
Pengadilan Puisi di Bandung. Dalam acara "Jawaban Atas Pengadilan
Puisi" itu, H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad, dan Sapardi
Djoko Damono "menjawab" tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Slamet
Kirnanto kepada mereka.
Taufiq Ismail dalam "Catatan
dari Bandung dan Jakarta: Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir dan Jawaban
Terhadap Itu" mengatakan "… penyelenggara Djen Amar dan Sanento
Yuliman menjelaskan kepada saya apa yang dimaksud dengan Pengadilan Puisi Indonesia
Mutakhir itu. Rupanya kawan-kawan di Bandung ini ingin mencari suatu bentuk
lain dalam membicarakan kesusastraan, dalam hal ini puisi. Bentuk seminar,
simposium, dan diskusi panel dianggap menjemukan sehingga dicari suatu bentuk
yang tidak menjemukan, lucu, tapi juga bersungguh-sungguh. Konon menurut
gagasan Darmanto, bentuk pengadilan bisa memenuhi persyaratan. Demikianlah
Puisi Indonesia Mutakhir jadi terdakwa yang diadili; ada jaksa yang mendakwa,
ada pembela yang menangkis dakwaan, ada orang-orang yang memberikan kesaksian
dan tentu saja kemudian ada hakim yang memutuskan. (ENESTE,1986)
Slamet Kirnanto dalam "Saya
Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan
Brengsek!" menyatakan "menimbang perlunya menghembuskan lagi udara
segar dalam kehidupan sastra puisi kita, dan menuntut yang adil dan wajar dari
kondisi sastra kita, membersihkan semak dan belukar yang menghambat langkah
dari kecenderungan yang sedang tumbuh sekarang; berdasarkan KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Puisi), seperti terjelma dalam pasal demi pasalnya yang
merupakan pencerminan dari aturan permainan sehat; dengan ini kami sangat
bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum dalam "Peradilan Puisi
Kontemporer", mengajukan tuntutan sebagai berikut.
1. 1. Para kritikus yang tidak mampu lagi
mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S.
Hutagalung harus "dipensiunkan" dari peranan yang pernah mereka
miliki.
2. 2. Para editor majalah sastra,
khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
3. 3. Para penyair established (mapan):
Subagio, Rendra, Goenawan, dan sebangsanya (dan lain-lain) dilarang menulis
puisi dan epigon-epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi
inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil.
4. 4. Horison dan Budaya Jaya harus dicabut
"SIT"-nya dan yang terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan
dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum sebab akan mengisruhkan
perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.
H.B. Jassin dalam "Beberapa
Catatan Bertalian dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir" menyatakan
bahwa "menurut programa, susunan personalia pengadilan adalah sebagai
berikut
Hakim Ketua : Sanento Yuliman
Hakim Anggota : Darmanto Jt
Jaksa Penuntut Umum : Slamet Kirnanto
Tim Pembela : Taufiq Ismail
Sapardi Djoko Damono (absen)
(Handrawan Nadesul)
Terdakwa : Puisi Indonesia Mutakhir
Para Saksi:
Saksi yang meringankan: Saini K.M. (Bandung)
Adri Darmadji (Jakarta)
Wing Kardjo (Bandung)
Abdul Hadi W.M. (Bandung)
Umbu Landu Paranggi (Yogya, absen)
Yudhistira Ardi Noegraha (Jakarta)
Saksi yang memberatkan: Sutardji Calzoum Bachri (Bandung)
Sides Sudyarto DS (Jakarta)
Bunyi rumusan dakwaan sebagaimana
yang dapat ditangkap dari laporan wartawan Kompas ialah, bahwa:
"… situasi perkembangan sastra, khususnya puisi di
Indonesia tidak menentu. Sudah tidak sehat sama sekali. Gejala-gejala
kebarat-baratan yang berasal dari sastrawan intelektualistis Sutan Takdir
Alisjahbana masih terus berjalan, sehingga sastra Indoensia tidak menemukan
kekuatannya pada kepribadiannya sendiri, melainkan hanya epigonisme dari Barat
saja".
Selanjutnya, dikatakan pula bahwa
biang keladi keadaan yang tidak sehat ini adalah Goenawan Mohamad yang
meneruskan epigonisme dari Barat, disempurnakan oleh Sapardi Djoko Damono yang
dibuntuti oleh Abdul Hadi W.M. Selain itu, majalah Horison dan Budaya Jaya juga
dianggap berdosa karena menjadi penyebar dan juru bicara epigonisme yang
dianggap berbahaya itu sehingga harus dicabut izin terbitnya. Akhirnya, surat
tuduhan itu menyebut para kritikus, antara lain H.B. Jassin dan M.S.
Hutagalung, sebagai orang-orang yang berdosa "selalu menghembus-hembuskan
angin sastra yang tidak sehat serta tidak sanggup melihat gejala dan kenyataan
adanya aliran baru yang lebih Indonesia" sehingga mereka harus segera
dipensiunkan. (ENESTE,1986)
M.S. Hutagalung dalam "Puisi
Kita Dewasa Ini: Jawaban Saya Terhadap Slamet Kirnanto" menyatakan bahwa
disenangi atau tidak disenangi pengarang, FSUI harus tetap mengutarakan
pendapat-pendapatnya terhadap karya sastra.
1. 1. Pandangan-pandangan Slamet Kirnanto
adalah pandangan-pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya
sebenarnya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai
pembela seniman-seniman muda itu. Memforsir suatu pengakuan dengan teriakan
keras dan tidak demokratis adalah tidak sehat bagi perkembangan kesusastraaan
kita khususnya, kebudayaan kita umumnya.
2. 2. Saya berpendapat bahwa sebuah
pernyataan atau statement tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi.
3. 3. Bahwa perkembangan puisi kita
brengsek dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus, sebenarnya tidak benar.
Sudut pandang Kirnantolah yang brengsek. Dan saya tidak sependapat pada
pandangan Kirnanto bahwa seakan-akan perkembangan sastra hanya ditentukan oleh
beberapa orang kritikus.
4. 4. Untuk menilai seseorang, lebih baik
langsung meneliti karyanya sebagaimana adanya tanpa mengharapkan yang diteliti
sebagai ini dan itu. Kalau menilai H.B. Jassin atau M.S. Hutagalung,
langsunglah menilai karyanya tanpa menghubungkan harapan agar mereka sebagai
"pengarah" sastra Indonesia. Tuntutan itu menjadi tuntutan yang tidak
wajar untuk mereka. (ENESTE,1986)
Sapardi Djoko Damono dalam
Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan mengatakan "Harap
diketahui bahwa saya diundang menghadiri "Pengadilan Puisi" yang
diselenggarakan di Bandung tanggal 8 September 1974. Sayang sekali saya tidak
bisa hadir karena alasan kesehatan. Pada tahun 1970, Darmanto Jt. pernah
menyodorkan gagasan mengadakan kegiatan semacam itu di Semarang, tetapi karena
beberapa alasan acara yang dimaksudkan untuk badutan itu tak bisa dilaksanakan
pada saatnya. Baru tahun ini ada beberapa teman yang bersedia melaksanakan
gagasan asli Darmanto Jt. itu di Bandung (1983)".
Lebih lanjut, Sapardi mengatakan
bahwa "berita di Koran tentang peristiwa di Bandung itu bisa menimbulkan
kesan seolah-olah sekelompok penyair muda sedang memberontak terhadap
nilai-nilai yang ditegakkan oleh penyair yang sudah established, yang biasanya
lebih tua. Ternyata tidak demikian halnya. Darmanto Jt., Slamet Kirnanto,
Goenawan Mohamd, Sutardji Calzoum Bachri, Taufif Ismail dan beberapa nama lain
yang disebut-sebut adalah sebaya. Dari segi umur mereka memiliki kemungkinan
yang sama, namun karena ada yang suka belajar dan ada yang hanya suka mengeluh
maka nilai puisi yang mereka tulis berbeda. Dan peristiwa itu jelas bukan
merupakan pemberontakan kaum muda terhadap yang tua karena ternyata si
"penuntut" adalah Slamet Kirnanto yang usianya beberapa tahun lebih tua
dari Abdul Hadi W.M., penyair yang dijadikan bahan ejekan dan tuduhan, yang
jauh lebih berbakat dan telah menerbitkan puisi yang jauh lebih baik
kualitasnya dari, misalnya Slamet Kirnanto sendiri. Lebih kocak lagi karena
Slamet Kirnanto telah mendakwa Abdul Hadi sebagai epigon; saya kira seharusnya
mereka bertukar peran saja (1983)". Sapardi melanjutkan bahwa
"tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahasa yang buruk, tidak
berisi hal-hal baru, dan tidak kocak (kecuali, barangkali, empat buah pokok tuntutannya
yang di bagian akhir tulisan itu). Barangkali kita harus menghargai Slamet
Kirnanto karena "keberanian"-nya tampil di Bandung tempo hari, namun
saya berpendapat bahwa ia adalah tokoh yang terlalu "serius" untuk
pertemuan serupa itu. Suasana pasti bisa lebih kocak seandainya Darmanto Jt.
yang bertindak sebagai "penuntut umum" (1983)".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar