Rabu, 26 April 2017

NYANYIAN RAKYAT SUNAN KALIJAGA



Makna Nyanyian Rakyat “Gundul Gundul Pacul”
Bagi temen-temen yang berasal dari Jawa mungkin tidak asing lagi dengan lagu Gundul Gundul Pacul yang biasa kita nyanyikan sewaktu kita ngumpul-ngumpul dengan temen-temen, baik di lingkungan rumah maupun disekolahan. Liriknya adalah demikian :

Gundul gundul pacul-cul,gembelengan…

Nyunggi nyunggi wakul-kul,gembelengan…

Wakul ngglimpangsegane dadi sak latar…

Tembang Jawa ini diciptakan tahun 1400an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya yang masih remaja dan mempunyai arti filosofis yg dalam dan sangat mulia.

A.    Gundul
Adalah kepala plonthos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang. Rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Maka gundul artinya kehormatan yang tanpa mahkota.

B.     Pacul (cangkul)
Adalah lambang kawula rendah yang kebanyakan adalah petani.

C.     Gundul pacul
Artinya bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Orang Jawa mengatakan pacul adalah papat kang ucul (empat yang lepas), artinya bahwa:

 Kemuliaan seseorang akan sangat tergantung empat hal, yaitu bagaimana menggunakan mata, hidung, telinga dan mulutnya.
1. Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat.
2. Telinga digunakan untuk mendengar nasehat.
3. Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan.
4. Mulut digunakan untuk berkata-kata yang adil.
Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya.

D.    Gembelengan
Gembelengan artinya besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dirinya sesungguhnya mengemban amanah rakyat. Tetapi dia malah:
1. Menggunakan kekuasaannya sebagai kemuliaan dirinya.
2. Menggunakan kedudukannya untuk berbangga-bangga di antara manusia.
3. Dia menganggap kekuasaan itu karena kepandaiannya.

E.     Nyunggi wakul, gembelengan Nyunggi wakul
Artinya membawa bakul (tempat nasi) di kepalanya.Banyak pemimpin yang lupa bahwa dia mengemban amanah penting membawa bakul dikepalanya.

F.      Wakul
Adalah simbol kesejahteraan rakyat.
Kekayaan negara, sumberdaya, Pajak adalah isinya. Artinya bahwa kepala yang dia anggap kehormatannya berada di bawah bakul milik rakyat.
Kedudukannya di bawah bakul rakyat.
Siapa yang lebih tinggi kedudukannya, pembawa bakul atau pemilik bakul? Tentu saja pemilik bakul. Pembawa bakul hanyalah pembantu si pemiliknya.
Dan banyak pemimpin yang masih gembelengan (melenggak lenggokkan kepala dengan sombong dan bermain-main).
Akibatnya ?

G.    Wakul ngglimpang segane dadi sak latar
Bakul terguling dan nasinya tumpah ke mana-mana.
Jika pemimpin gembelengan, maka sumber daya akan tumpah ke mana-mana. Dia tak terdistribusi dengan baik. Kesenjangan ada dimana-mana. Nasi yang tumpah di tanah tak akan bisa dimakan lagi karena kotor. Maka gagallah tugasnya mengemban amanah rakyat!
Semoga kita jadi pribadi yang memiliki integritas sehingga siap menjadi suri tauladan dimanapun kita berada. Dan juga bisa menjadi contoh sosok pemimpin yang bijak, adil, dan jujur.

SAMARINDA, 26 April 2017
ACHMAD BASHOFI
1614015015
SASTRA INDONESIA A 2016
TRADISI SASTRA NUSANTARA

Senin, 24 April 2017

PENGADILAN PUISI

PENGADILAN PUISI
Pengadilan Puisi, tepatnya "Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir", merupakan nama sebuah acara yang diselenggarakan Yayasan Arena. Acara ini diadakan di Aula Universitas Parahyangan, Bandung, 8 September 1974 dan diikuti oleh sejumlah pengarang Indonesia. Dalam acara ini, Slamet Kirnanto—yang bertindak sebagai "Jaksa"—membacakan "tuntutan"-nya yang berjudul "Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!"
Tuntutan Darmanto Jt dan tuntutan Slamet Kirnanto secara tersirat dan tersurat memang terasa di dalam ketidakpuasan terhadap kehidupan puisi Indonesia pada saat itu. Ketidakpuasan itu, antara lain, menyangkut: (1) sistem penilaian terhadap puisi Indonesia, (2) kritikus sastra Indonesia, (3) media yang memuat karya sastra Indonesia, dan (4) beberapa penyair Indonesia yang dianggap "mapan".
Itulah sebabnya, mereka yang banyak disebut-sebut dalam "Pengadilan Puisi" di Bandung (karena dianggap "bertanggung jawab" terhadap kehidupan puisi Indonesia) sengaja diundang untuk berbicara dalam "Jawaban Atas Pengadilan Puisi" yang diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Teater Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, 21 September 1974; sebuah acara yang dapat dianggap sebagai "kelanjutan" atau "sambungan" Pengadilan Puisi di Bandung. Dalam acara "Jawaban Atas Pengadilan Puisi" itu, H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono "menjawab" tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Slamet Kirnanto kepada mereka.
Taufiq Ismail dalam "Catatan dari Bandung dan Jakarta: Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir dan Jawaban Terhadap Itu" mengatakan "… penyelenggara Djen Amar dan Sanento Yuliman menjelaskan kepada saya apa yang dimaksud dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir itu. Rupanya kawan-kawan di Bandung ini ingin mencari suatu bentuk lain dalam membicarakan kesusastraan, dalam hal ini puisi. Bentuk seminar, simposium, dan diskusi panel dianggap menjemukan sehingga dicari suatu bentuk yang tidak menjemukan, lucu, tapi juga bersungguh-sungguh. Konon menurut gagasan Darmanto, bentuk pengadilan bisa memenuhi persyaratan. Demikianlah Puisi Indonesia Mutakhir jadi terdakwa yang diadili; ada jaksa yang mendakwa, ada pembela yang menangkis dakwaan, ada orang-orang yang memberikan kesaksian dan tentu saja kemudian ada hakim yang memutuskan. (ENESTE,1986)
Slamet Kirnanto dalam "Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!" menyatakan "menimbang perlunya menghembuskan lagi udara segar dalam kehidupan sastra puisi kita, dan menuntut yang adil dan wajar dari kondisi sastra kita, membersihkan semak dan belukar yang menghambat langkah dari kecenderungan yang sedang tumbuh sekarang; berdasarkan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Puisi), seperti terjelma dalam pasal demi pasalnya yang merupakan pencerminan dari aturan permainan sehat; dengan ini kami sangat bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum dalam "Peradilan Puisi Kontemporer", mengajukan tuntutan sebagai berikut.
1.      1. Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus "dipensiunkan" dari peranan yang pernah mereka miliki.
2.      2. Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
3.      3. Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan, dan sebangsanya (dan lain-lain) dilarang menulis puisi dan epigon-epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil.
4.      4. Horison dan Budaya Jaya harus dicabut "SIT"-nya dan yang terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.
H.B. Jassin dalam "Beberapa Catatan Bertalian dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir" menyatakan bahwa "menurut programa, susunan personalia pengadilan adalah sebagai berikut
Hakim Ketua :                         Sanento Yuliman
Hakim Anggota :                      Darmanto Jt
Jaksa Penuntut Umum :            Slamet Kirnanto
Tim Pembela :                          Taufiq Ismail
     Sapardi Djoko Damono (absen)
(Handrawan Nadesul)
Terdakwa :                              Puisi Indonesia Mutakhir
Para Saksi:
Saksi yang meringankan:        Saini K.M. (Bandung)
Adri Darmadji (Jakarta)
Wing Kardjo (Bandung)
Abdul Hadi W.M. (Bandung)
Umbu Landu Paranggi (Yogya, absen)
Yudhistira Ardi Noegraha (Jakarta)
Saksi yang memberatkan:       Sutardji Calzoum Bachri (Bandung)
Sides Sudyarto DS (Jakarta)
Bunyi rumusan dakwaan sebagaimana yang dapat ditangkap dari laporan wartawan Kompas ialah, bahwa:
"… situasi perkembangan sastra, khususnya puisi di Indonesia tidak menentu. Sudah tidak sehat sama sekali. Gejala-gejala kebarat-baratan yang berasal dari sastrawan intelektualistis Sutan Takdir Alisjahbana masih terus berjalan, sehingga sastra Indoensia tidak menemukan kekuatannya pada kepribadiannya sendiri, melainkan hanya epigonisme dari Barat saja".
Selanjutnya, dikatakan pula bahwa biang keladi keadaan yang tidak sehat ini adalah Goenawan Mohamad yang meneruskan epigonisme dari Barat, disempurnakan oleh Sapardi Djoko Damono yang dibuntuti oleh Abdul Hadi W.M. Selain itu, majalah Horison dan Budaya Jaya juga dianggap berdosa karena menjadi penyebar dan juru bicara epigonisme yang dianggap berbahaya itu sehingga harus dicabut izin terbitnya. Akhirnya, surat tuduhan itu menyebut para kritikus, antara lain H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, sebagai orang-orang yang berdosa "selalu menghembus-hembuskan angin sastra yang tidak sehat serta tidak sanggup melihat gejala dan kenyataan adanya aliran baru yang lebih Indonesia" sehingga mereka harus segera dipensiunkan. (ENESTE,1986)
M.S. Hutagalung dalam "Puisi Kita Dewasa Ini: Jawaban Saya Terhadap Slamet Kirnanto" menyatakan bahwa disenangi atau tidak disenangi pengarang, FSUI harus tetap mengutarakan pendapat-pendapatnya terhadap karya sastra.  
1.      1. Pandangan-pandangan Slamet Kirnanto adalah pandangan-pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya sebenarnya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda itu. Memforsir suatu pengakuan dengan teriakan keras dan tidak demokratis adalah tidak sehat bagi perkembangan kesusastraaan kita khususnya, kebudayaan kita umumnya.
2.      2. Saya berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau statement tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi.
3.      3. Bahwa perkembangan puisi kita brengsek dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus, sebenarnya tidak benar. Sudut pandang Kirnantolah yang brengsek. Dan saya tidak sependapat pada pandangan Kirnanto bahwa seakan-akan perkembangan sastra hanya ditentukan oleh beberapa orang kritikus.
4.      4. Untuk menilai seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaimana adanya tanpa mengharapkan yang diteliti sebagai ini dan itu. Kalau menilai H.B. Jassin atau M.S. Hutagalung, langsunglah menilai karyanya tanpa menghubungkan harapan agar mereka sebagai "pengarah" sastra Indonesia. Tuntutan itu menjadi tuntutan yang tidak wajar untuk mereka. (ENESTE,1986)
Sapardi Djoko Damono dalam Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan mengatakan "Harap diketahui bahwa saya diundang menghadiri "Pengadilan Puisi" yang diselenggarakan di Bandung tanggal 8 September 1974. Sayang sekali saya tidak bisa hadir karena alasan kesehatan. Pada tahun 1970, Darmanto Jt. pernah menyodorkan gagasan mengadakan kegiatan semacam itu di Semarang, tetapi karena beberapa alasan acara yang dimaksudkan untuk badutan itu tak bisa dilaksanakan pada saatnya. Baru tahun ini ada beberapa teman yang bersedia melaksanakan gagasan asli Darmanto Jt. itu di Bandung (1983)".
Lebih lanjut, Sapardi mengatakan bahwa "berita di Koran tentang peristiwa di Bandung itu bisa menimbulkan kesan seolah-olah sekelompok penyair muda sedang memberontak terhadap nilai-nilai yang ditegakkan oleh penyair yang sudah established, yang biasanya lebih tua. Ternyata tidak demikian halnya. Darmanto Jt., Slamet Kirnanto, Goenawan Mohamd, Sutardji Calzoum Bachri, Taufif Ismail dan beberapa nama lain yang disebut-sebut adalah sebaya. Dari segi umur mereka memiliki kemungkinan yang sama, namun karena ada yang suka belajar dan ada yang hanya suka mengeluh maka nilai puisi yang mereka tulis berbeda. Dan peristiwa itu jelas bukan merupakan pemberontakan kaum muda terhadap yang tua karena ternyata si "penuntut" adalah Slamet Kirnanto yang usianya beberapa tahun lebih tua dari Abdul Hadi W.M., penyair yang dijadikan bahan ejekan dan tuduhan, yang jauh lebih berbakat dan telah menerbitkan puisi yang jauh lebih baik kualitasnya dari, misalnya Slamet Kirnanto sendiri. Lebih kocak lagi karena Slamet Kirnanto telah mendakwa Abdul Hadi sebagai epigon; saya kira seharusnya mereka bertukar peran saja (1983)". Sapardi melanjutkan bahwa "tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahasa yang buruk, tidak berisi hal-hal baru, dan tidak kocak (kecuali, barangkali, empat buah pokok tuntutannya yang di bagian akhir tulisan itu). Barangkali kita harus menghargai Slamet Kirnanto karena "keberanian"-nya tampil di Bandung tempo hari, namun saya berpendapat bahwa ia adalah tokoh yang terlalu "serius" untuk pertemuan serupa itu. Suasana pasti bisa lebih kocak seandainya Darmanto Jt. yang bertindak sebagai "penuntut umum" (1983)".  

Senin, 17 April 2017

Perjalanan ke Makam La Mohang Daeng Mangkona



Perjalanan ke Makam La Mohang Daeng Mangkona
       Pada tanggal 8 April 2017 tepatnya pada hari sabtu, kami rombongan mahasiswa beserta dosen pembimbing Sastra Indonesia angkatan 2016 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman mengagendakan berkunjung ke salah satu makam tertua yang ada di Samarinda, yaitu makam dari pendiri kota Samarinda beliau adalah La Mohang Daeng Mangkona. Sabtu pagi kami berkumpul di Fakultas Ilmu Budaya tepatnya pukul 08.00 kami suda janjian sudah ada di tempat berkumpul untuk pergi bersama-sama ke lokasi kunjungan. Kesepakatan berkumpul di fakultas adalah jam 08.00, tetapi banyak dari mahasiswa lain yang tidak konsisten akan hal itu. 
       Walaupun hanya masalah sepele, tetapi akan menjadi besar jika tetap dipelihara. Akhirnya waktu menunjukkan pukul 09.30, semua sudah berkumpul di fakultas. Kami melakukan brifing terlebih dahulu dan berdoa agar diberi keselamatan nantinya selama perjalanan berangkat maupun pulang setelahnya. 09.45 kami berangkat menuju lokasi makam. Letaknya cukup jauh dari fakultas kami, kami menikmati perjalanan menuju lokasi kunjungan walaupun matahari bersinar terang menghangatkan kulit. Pukul 10.15 kami tiba di lokasi kunjungan yaitu makam La Mohang Daeng Mangkona. 
       Kami bertemu dengan juru kunci makam tersubut, beliau bernama Pak Abdillah. Setalah itu, kami diajak masuk menuju ke dekat makam. Kami pun duduk dan berdoa. Setelah itu, kami mendengarkan penjelasan sejarah tentang La Mohang Daeng Mangkona ini. Jadi berdirinya kota Samarinda ini tidak lepas dari peranan La Mohang Daeng Mangkona. Dari penjelasan Pak Abdillah, La Mohang Daeng Mangkona ini adalah pendiri dari kota Samarinda. Banyak ilmu dan pengetahuan yang kami dapat tentang pendiri dari kota Samarinda. Ternyata besar peranan beliau terhadap kota Samarinda sekarang. 
       Banyak perubahan baik yang terjadi sekarang berkat usaha beliau mendirikan dan menjaga kota Samarinda. Setelah kami rasa lengkap sudah penjelasan dari sejarah La Mohang Daeng Mangkona ini, Pak Abdillah mengajak kami untuk melihat-lihat sekitaran makam. Ternyata ditempat tersebut bukan hanya makam dari La Mohang Daeng Mangkona saja, melainkan banyak juga makam-makam tetapi makam-makam tersebut di berindentitas. Kami di ajak keliling melihat-lihat makam-makam yang lain. Waktu menunjukkan pukul 11.30, matahari semakin terik. Kami rasa cukup sudah waktu kami berkunjung. Setelah itu, kami berfoto bersama dan sekaligus mengakhiri kunjungan kami di makam La Mohang Daeng Mangkona. Kami berpamitan dengan sang juru kunci makam pak Abdillah dan juga berterima kasih karena telah mengizinkan kami berkunjung ke makam La Mohang Daeng Mangkona.

SEJARAH PENDIRI SAMARENDAH



SEJARAH PENDIRI SAMA RENDAH(SAMARINDA)
Kota Samarinda merupakan ibu kota provinsi Kalimantan Timur, Indonesia serta salah satu kota terbesar di Kalimantan. Seluruh wilayah kota ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Kota Samarinda dapat dicapai dengan perjalanan darat, laut dan udara. Dengan Sungai Mahakam yang membelah di tengah Kota Samarinda, yang menjadi "gerbang" menuju pedalaman Kalimantan Timur. Kota ini memiliki luas wilayah 718 kilometer persegi dan berpenduduk 805.688 jiwa pada tahun 2013 (Badan Pusat Statistik Kota Samarinda), menjadikan kota ini berpenduduk terbesar di seluruh Kalimantan.
Jika kita berbicara tentang Legenda, Legenda adalah cerita khayalan yang dihubungkan dengan asal muasal terjadinya suatu tempat atau benda. Misalnya : terjadinya gunung tengger, asal muasal selat bali, sangkurian, dsb. (BAMBANG MARHIJANTO,2007:146)
ORANG-ORANG BUGIS MENDIRIKAN KOTA SAMARINDA
            Ada orang-orang bugis yang merantau dari Wajo, Sulawesi Selatan ke Samarinda yang pada saat itu masih bernama Sama Rendah. Sejak permulaan tahun 1600 orang-orang bugis telah ada yang bertempat tinggal disekitar Jaitan Layar di Kutai, demikian juga pada masa-masa selanjutnya. Arus migrasi itu kian lama terus berkembang. Terutama ketika rombongan di bawah pimpinan La Mohang Daeng Mangkona hijrah ke kerajaan Kutai, dimana sebelumnya mereka mendarat di Muara Pasir untuk menambah bekal perjalanannya. Mereka datang dengan 18 buah perahu kecil dengan jumlah sekitar 200 orang. Sebenarnya diantara rombongan itu terdapat 8 orang bangsawan Wajo (La Pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke’, La Siraje’ Daeng Manambang, La Manja Daeng Lebbi’, Puanna Tereng, La Sawedi Daeng Sagala dan Manropi’ Daeng Punggawa). Kedatangan rombongan ini dicatat di dalam buku Eisenberger, halaman 9, tahun 1668.
            Rombongan tersebut menghadap raja Kutai ( Pangeran Sinom Panji Mendapa 1635-1675), yang waktu itu sudah berdiam di Pemarangan (Kampung Jembayan sekarang). Dari hasil permupakatan dengan raja Kutai, maka kepada rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar Kampung Melanti, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Selain itu sesuai dengan perjanjian, bahwa orang Bugis harus membantu segala kepentingan raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.
            Semula rombongan tersebut memilih daerah sekitar Muara Sungai Karang Mumus (daerah Selili sekarang). Tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan didalam pelayaran karena daerah yang berulak dengan banyak kotoran sungai, selain itu latar belakang dengan gunung-gunung (Gunung Selili). Kemudian mereka pindah ke daerah seberangnya, yakni Samarinda seberang sekarang ini. Dilokasi inilah mulai dibangun perumahan, dengan bentuk rakit-rakit, karena didaerah daratan masih berawa yang dalam.
            Demikianlah keadaannya, Samarinda terus berkembang dibawah pimpinan La Mohang Daeng Mangkona (sebagai Puo Ado yang pertama), kemudian oleh raja Kutai diberi jabatan sebagai raja-kecil(Adipati). Dengan segala upaya Pua Ado ini membangun Samarinda, dengan berbagai fasilitas yang memungkinkannya untuk berkembang. Taham demi tahap rumah rakit dipindahkan kedaratan, dibangun jalan lingkungan dan fasilitas pasar, kemudian tahap demi tahap diusahakan mendirikan pelabuhan (dicatat pada 20 April 1708).
            Tidak berapa lama Samarinda sudah terkenal sebagai pusat perdagangan diperairan Mahakam, dan penduduk terus bertambah, baik dari pendatang orang Bugis maupun orang-orang Kutai disekitarnya. Sehingga saat itu sudah ada 3 kampung, yakni Kampung Masjid, Kampung Dagang, dan Kampung Pasar.
            Melihat keadaan Samarinda sudah bertambah baik, maka setalah 5 tahun berdiam disini, La Ma’dukkeleng bermaksud kembali ke Wajo untuk merebut takhta kerajaannya di Sulawesi. Dikabarkan tidak berapa lama di Wajo, La Ma’dukkeleng berhasil mengumpulkan rakyatnya dan dalam peperangan dengan Bone berhasil takhta kerajaan direbut kembali.
            Masa demi masa terus berlalu. Kota Samarinda terus diperintah dibawah Pua Ado (yang setiap pengangkatannya disetujui oleh raja Kutai). Ketika Pua Ado yang pertama meninggal dikubur di daerah Mangkujenang sekitar pada tahun 1746. Diadakan pemilihan Pua Ado baru, yang dipilih adalah sepupu dari La Mohang Daeng Mangkona, yaitu La Bawedi Daeng Sitebba, sebagai Pua Ado kedua.



Kunjungan ke Makam La Mohang Daeng Mangkona


Ini adalah pengalaman saya berkunjung ke Makam dari pendiri kota Samarinda yaitu La Mohang Daeng Mangkona. Penjelasan dari juru kunci makam tersebut sudah ada sekitar 300 tahun yang lalu. Setiap tanggal 21 Januari adalah hari jadi kota Samarinda, biasanya bapak Walikota Samarinda berkunjung untuk haulan ke makam tersebut. Makam ini sudah di jadikan sebagai cagar budaya nasional, bukan lagi cagar budaya daerah. Banyak sejarah dari akam tersebut bahkan apa yang ada di makam tersebut belum berubah dari aslinya. Sedikit cerita tentang La Mohang Daeng Mangkona yang saya ketahui, La Mohang Daeng Mangkona ini datang merantau ke tanah Kalimantan sekitar tahun 1600an. Mereka datang secara rombongan dan diperkirakan ada sekitar 200 orang. Mereka merantau dari tanah bugis Wajo Sulawesi Selatan.
Selain mendirikan dan mengembangkan kota Samarinda, La Mohang Daeng Mangkona diperkirakan juga menyebar ajaran Islam di kota Samarinda ini. karena dilihat dari tulisan yang ada pada nisan makamLa Mohang Daeng Mangkona bertuliskan Arab. Jadi, bisa dipastikan bahwa beliau juga menyebarkan ajaran Islam di Kota Samarinda, karena Kerajaan Kutai pada masa itu juga masi menganut ajaran Hindu. Jadi makam La Mohang Daeng Mangkona dinyatakan sebagai makam muslim karena dari tulisan yang ada pada nisannya bertuliskan huruf Arab.
Pada saat itu La Mohang Daeng Mangkona oleh raja Kutai diberikan wilayah yang sekarang Samarinda Seberang, maksud dari raja Kutai memberikan kuasa daerah Samarinda seberang karena juga untuk melindungi ancaman Samarinda dari musuh, karena itu La Mohang DAeng Mangkona memilih daerah Selili sebagai wilayah yang kekuasaannya dan sekaligus menjaga dari ancaman musuh (penjajah pada saat itu) karena bisa memantau melalui aliran sungai. Pada masa itu kan masih bertransportasikan perahu layar jadi kenapa La Mohang Daeng Mangkona memilih daerah selili agar bisa lebih mudah memantau melalui aliran sungai. Jika berbicara tentang keturunannya, bahwa ibarat perantauan mereka ini terputus sejarah beliau. Banyak yang mengaku bahwa mereka adalah keturunan dari La Mohang DAeng Mangkona, tetapi hanya di iya kan saja, karena memang sampe sekarang belum ada kejelasan tentang keturunan-keturunan beliau yang pastinya, karena ibarat silsilah beliau terputus. Bahkan sampai sekarang makam-makam yang ada di sekitaran makam La Mohang Daeng Mangkona tidak diketahui identitasnya. Pernah ada peneliti dari Sulawesi, meneliti selama 3 hari dan hasilnya memang benar sejarah keturunan La Mohang Daeng Mangkona ini terputus, bahkan sampai sekarang setelah diteliti nama istri dari La Mohang Daeng Mangkona belum diketahui. Ini adalah foto makam La Mohang DAeng Mangkona beserta kerabat-kerabat beliau.

Ini adalah foto makam dari La Mohang Daeng Mangkona.

Ini adalah foto makam dari Istri La Mohang Daeng Mangkona. Namanya sampai sekarang belum diketahui. Dan ini adalah makam kerabat-kerabat dan makam-makam yang ada di sekitar makam La Mohang Daeng Mangkona.



Demikianlah artikel ini saya tulis. Semoga bisa bermanfaat dan bisa menjadi wawasan bagi kita akan pentingnya kita mengetahui sejarah di masa lampau. Terima Kasih. Wassalam.
Daftar Pustaka
Balham,Johansyah. 2009. Riwayat Samarinda & Cerita Legenda Kaltim. Samarinda. Biro Humas Pemprov Kalimantan Timur.
Marhijanto,Bambang. 2007. Buku Pintar Bahasa Indonesia. Surabaya. Gitamedia Press.
Dachlan,Oemar.,dan Syahrani,Dachlan. 2003. Merajut Kembali Kota Samarinda. Samarinda. Pemerintah Kota Samarinda.
Sjahrani,Dachlan. 1987. Beberapa Usaha Untuk Menemukan Hari Jadi Kota Samarinda. H.Dachlan Sjahrani.